BOLEHKAH WAN AZIZAH MENJADI PERDANA MENTERI MALAYSIA??
DIA KAHWIN LARI, KUAT BERDUSTA PERIHAL SUAMINYA SERTA DISYAKI BERSUBAHAT DENGAN SEGALA KEMUNGKARAN SUAMI.
Memilih pemimpin wanita yang tidak bagus akhlaknya
Tidak ada perselisihan pendapat, bahwa buruknya akhlak adalah penghalang seseorang diangkat menjadi pemimpin, terlebih lagi jika dia seorang wanita. Juga tidak ada perselisihan pendapat kebolehan wanita menjadi pemimpin untuk sesama wanita.
Perselisihan yang terjadi adalah jika wanita itu shalihah, adil, hebat dalam memimpin; di sisi lain tak ada laki-laki yang kualitinya sama sepertinya. Apakah saat itu wanita lebih baik dijadikan pemimpin untuk semuanya? Ataukah tetap memaksakan laki-laki menjadi pemimpin betapa pun bengis dan bodohnya dia? Ataukah ini termasuk keadaan yang dikecualikan? Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, melarang secara mutlak, ini adalah pendapat imam empat madzhab dan jumhur (majoriti). Mereka berdalil dengan kesohehan ayat Al Quran:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh kerana Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan kerana mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. ... (QS. An Nisa: 34)
Ayat ini tentang kepempimpinan laki-laki di rumah tangga, namun juga berlaku umum dalam semua level kepemimpinan, sesuai kaidah qiyas aula, yakni jika wanita bukan pemimpin di dalam keluarga, maka ditingkatan yang lebih besar dari itu dia lebih bukan lagi sebagai pemimpin.
Dalil dari Sunah adalah:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ
لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
لَقَدْ نَفَعَنِي اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَّامَ الْجَمَلِ بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمْ امْرَأَةً
Dari Abu Bakrah, katanya: Sungguh Allah telah memberikan manfaat dengan kata-kata yang pernah kudengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada saat perang Jamal, setelah sebelumnya hampir saja aku mengikuti tentara Jamal (yaitu pasukan yang dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai unta) dan berperang mendukung mereka. Lalu dia mengatakan: Ketika sampai berita kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa bangsa Persia telah mengangkat putri Kisra sebagai pemimpin, maka beliau bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan kekuasaan (pemerintahan) mereka kepada seorang wanita.” (HR. Bukhari No. 4425)
Hadits ini sangat jelas mengecam kaum yang mengangkat wanita sebagai pemimpin mereka.
Kedua, melarang hanya pada level imamatul ‘uzhma (imam tertinggi seperti jabatan khalifah atau presiden untuk zaman sekarang), sedangkan kepemimpinan di bawah level itu tidak apa-apa. Sebab, saat itu wanita tetap masih di bawah komando laki-laki. Mereka yang mendukung pendapat ini adalah Imam Abu Hanifah, Imam Ibnu Hazm, Syaikh Al Qaradhawi, Syaikh Muhammad Al Ghazali, dan lain-lain.
Alasan kelompok ini adalah karena Khalifah Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu pernah mengangkat seorang wanita menjadi kepala pasar, padahal kaum laki-laki masih banyak yang mampu. Maka, kedudukan wanita tersebut sebagai pemimpin masih di bawah kendali Khalifah Umar. Saat itu tidak ada sahabat nabi lainnya yang menentang hal ini. Ada pun hadits dari Abu Bakrah di atas, adalah kepemimpinan wanita dalam urusan pemerintahan dan kenegaraan tertinggi, seperti khalifah atau presiden untuk zaman tidak ada khalifah seperti saat ini, karena hadits itu menggunakan kata wallau amrahum (menyerahkan urusan kekuasaan mereka). Dan, latar belakang hadits ini juga disebabkan karena terpilihnya seorang wanita sebagai pemimpin negara di Persia. Sehingga kepemimpinan di bawah level itu tidak mengapa, seperti pemimpin sebuah departemen, kepala daerah, kepala sekolah, ketua senat, dan lainnya. Imam Abu Hanifah membolehkan wanita menjadi Qadhi (Hakim) untuk masalah-masalah khusus wanita.
Ketiga, melarang kepemimpinan wanita kecuali calon-calon lainnya adalah laki-laki yang dikenal zalim, maka keadaan itu adalah situasi khusus yang membolehkan wanita –yang layak- menjadi pemimpin. Sebab kezaliman laki-laki tersebut –yang dapat mendatangkan petaka bagi rakyatnya- boleh dicegah dengan tidak memilihnya. Itu pun sifatnya sementara, jika dalam perjalanannya diketahui adanya laki-laki shalih yang layak sebagai pemimpin, maka wanita itu hendaklah digantikan oleh laki-laki tersebut. Inilah pendapat Al ‘Allamah Abul A’la Al Maududi Rahimahullah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan